Kisah Muhaimin dan doa Anai-anai
Kisah Muhaimin dan doa Anai-anai
Sepulang sekolah Muhaimin melamun, lelaki muda 30 tahunan
yang jadi guru honorer di pelosok kampung yang jauh dari kota, ia bergaji tiga
ratus ribu sebulan dan baru saja diberhentikan Kepala Sekolahnya, alasannya
sederhana karena ia tidak memilih anak Kepala Sekolah untuk menjadi komandan
upacara. Sekarang ia gelisah, sudah gaji tak seberapa, mengabdi mati-matian
sekarang ia harus dipecat gara-gara tak satu pilihan dengan Kepala Sekolah.
Kemana lagi mencari gaji?
Hujan turun jam empat petang, Muhaimin meletakan tempayan di
atas loteng dekat dapur, atap rumahnya telah lama bocor, hujan deras sekali
sampai seekor anai-anai mendekap begitu erat ke perapian, takut ia kebasahan
sebab hujan sepertinya akan berlama-lama.
. . .
Pagi itu anak-anak berbaris di lapangan, mereka bersemangat
latihan untuk upacara bendera hari Senin, Abdul anak sang Kepala Sekolah
berbaris paling depan, dada nya membusung penuh percaya diri, ia calon tunggal
Komandan Upacara begitu teriaknya dalam hati sebab bapaknya Kepala Sekolah.
“Baik anak-anak
sekarang kita akan memilih siapa yang akan menjadi Komandan Upacara pada hari
Senin nanti, siapa yang suaranya paling lantang dan tegas akan terpilih menjadi
Komandan Upacara”
Muhaimin bicara tegas
Anak-anak begitu bersemangat,
semua yakin akan terpilih. Satu persatu anak-anak itu maju ke depan diminta
berteriak memberi tanda hormat hingga selesai lah prosesi itu. Suara Abdul dan
Paulus menjadi yang paling lantang dan tegas diantara semua suara anak-anak
itu, namun Paulus lebih menunjukan sikap hormat dan tegap, sepertinya ia yang
akan terpilih dan Abdul gusar.
“Baik anak-anak kita telah menyelesaikan seleksi pemilihan calon
Komandan Upacara dan Bapak sudah menentukan pilihan siapa yang akan menjadi
Komandan Upacara kita, dan yang akan menjadi Komandan Upacara adalah….”
“Wah semangat sekali anak-anak…..”
Pak Victor selaku Kepala Sekolah datang
ke lapangan tiba-tiba
“Bapak Kepala, selamat pagi”
“Selamat pagi Pak Haimin, sedang latihan untuk upacara?”
“Iya benar Bapak”
“Bagus, semangat ya! upacara itu simbol penghormatan kita kepada Bangsa
dan Negara, kepada para pahlawan yang sudah gugur, simbol kecintaan kita kepada
tanah air, jadi anak-anak kalian harus serius dan semangat juga seperti para
pejuang ketika, kalian harus ikuti kata-kata Pak Haimin beliau adalah guru muda
yang cerdas, jujur dan berintegritas tinggi, sebagai orang kampung kalian harus
bangga punya guru seperti Pak Amin.”
“Makasih Pak….”
Muhaimin tersipu
Anak-anak bertepuk tangan..
“Ngomong-ngomong siapa
Komandan upacara nya nanti Pak Amin? Sudah dipilih?”
“Belum Pak, baru mau
saya umumkan ke anak-anak”
“Wah.. pas sekali ya,
jadi saya bisa ikut menyaksikan…,”
“Tentu saja boleh Pak”
Muhaimin Gusar
“Pantas kemarin saya
dengar Paulus latihan terus di rumah, sampai-sampai suaranya kayak speaker
Masjid, mantap dan lantang”
“Iya Pak, suaranya Abdul
mantap sekali tadi suaranya”
“Sudah saya duga, dia
latihan terus (tersenyum), baiklah silahkan diumumkan Pak siapa yang akan jadi
Komandan upacaranya, saya yakin pilihan Pak Haimin pasti yang terbaik, tak
mengecewakan dan saya mendukung itu”
“Terima kasih Pak”
Muhaimin tersenyum mendapat dukungan kepala sekolah, Kepala
Sekolah tersenyum karena Muhaimin setuju pada suara Abdul, Abdul tersenyum
karena Ayahnya adalah Kepala Sekolah, dan sekarang Paulus gusar.
“Dan yang akan menjadi
Komandan upacara adalah….”
Paulus pasrah…
“Paulussss”
Kepala Sekolah tercengang kaget bukan kepalang, Abdul berubah
Muram, Muhaimin menatap Kepala Sekolah tersenyum, lalu secepat itu pula
senyumnya raib, ia salah menebak maksud.
Paulus dielukan anak-anak, lalu bertepuk tangan sekelompok
ulat bulu di pohon kapas, kawanan burung emprit riuh mengibaskan sayapnya ikut
gembira.
Kepala Sekolah tak dapat menyembunyikan tampang masamnya, ia
menahan malu dan berlalu, namun sebelumnya ia sempatkan memberi pernyataan.
Ingat Yang gaji kamu
siapa?
. . .
Maka itulah muasal sore itu Muhaimin, gelisah,
berpayah-payah ia menjadi guru honorer lima tahun lamanya, mengabdi, berangkat
pagi-pagi dan bila lembur tak ada tambah gaji, satu-satunya alasan ia bertahan
karena berharap jadi pegawai negeri sipil dan dapat pensiun.
Sekarang tamat sudah riwayatnya.
Deras sekali hujan sore itu, anai-anai yang tadi mendekat
kedinginan sekarang sudah merapat dekat sekali pada sekam, ia pasrah jika
terbakar panas, itu lebih mulia baginya dari pada mati kedinginan tanpa usaha.
Ya Tuhan siapa yang
akan menggaji ku?
Muhaimin berujar lirih
Suasana hening sampai doa anai-anai tadi mengusik hujan
“Tuhan….. engkau
pemilik hujan dan panas, engkau pula pemilik nasib dan takdir, aku pasrah pada
kehendakmu, mungkin ini akhir hidupku namun engkau maha berkehendak, dan aku
telah berusaha, jika harus berakhir Tuhan, mohon……
Hening sang anai-anai menahan pinta
……..Mohon ditunda”
Tenang sekali, sang anai-anai yang sudah lelah kedinginan
merapatkan diri pada sekam yang membara, ia sudah berusaha dan sudah berdoa
tunai sudah tugasnya, ia pasrahkan nasibnya sekarang pada keridoan Tuhan, maka
mendadak hujan berhenti, tempayan bocor yang sedari tadi menjadi tadahan, lalu menumpahkan
air pada sekam, sang anai-anai selamat dan terbang.
Muhaimin diam setelah mendengar doa anai-anai, seperti ada
malaikat yang menyentiknya, bahwa kuasa milik yang Esa, mendadak ia
menegadahkan tangan ke langit.
“Tuhan engkau pemilik
gerimis yang syahdu, dan pemilik anai-anai yang tadi selamat, aku berdoa
sederhana dan penuh ketulusan hati”
Tik.. tik.. tikk (suara gerimis)
“Jadikan anai anai
tadi Kepala Sekolah kami”
. . .
Hari Senin anai-anai berpidato
Komentar
Posting Komentar