Orang pintar yang tak mampu Ngobrol
Orang pintar yang tak mampu Ngobrol
Didalam sebuah Bus kecil yang akan menuju Jakarta, duduk
serombongan pengusaha dari suatu daerah yang baru pulang dari kegiatan bakti sosial,
kebetulan salah satu pengusaha besar dalam rombongan itu baru saja meresmikan
sebuah bangunan baru untuk Pondok Pesantren di daerah Bogor. Bus melewati
kawasan Dramaga IPB, melewati pasar dan perkampungan kecil di Kabupaten Bogor,
2 orang mahasiswa ikut serta dalam rombongan pengusaha-pengusaha itu mereka menyusul
naik angkot.
Ketika pulang kedua mahasiswa itu tidak duduk berbarengan,
masing-masing mereka duduk disamping pengusaha yang merupakan senior mereka. Suasana
bus tidak begitu rame, hanya ada sedikit obrolan kecil yang putus nyambung oleh
beberapa orang, selayaknya rombongan mahasiswa atau warga komplek yang sedang liburan,
disini tidak ada riuh tawa yang begitu kentara, lebih banyak hening dan obrolan
yang putus nyambung.
Satu jam berlalu ketika Bus memasuki jalan tol, seorang
mahasiswa yang duduk disamping pengusaha membuka obrolan.
Nanti turun dimana
Bang?
Di Cawang dek, kamu
turun dimana?
Pancoran Bang.
Kemudian hening, Bus terus berjalan
Agak aneh rasanya ketika melihat orang-orang yang saling
kenal tapi malah sibuk dengan keheheningan dalam perjalanan panjang, padahal
ada kesempatan besar disana menggali hal-hal kecil, atau melihat sisi lain hidup
orang lain, tapi kebanyakan orang lebih memilih diam, ketika lawan bicaranya
dianggap tidak memberi keuntungan? Atau mungkin mereka tak punya kemampuan ngobrol
panjang?
Siapa yang menjamin seorang professor bisa lebih mudah
dipahami dibandingkan seorang sarjana muda?
Tak ada jaminan, dan tentu saja kemampuan akademis atau
nilai materi yang dimiliki sesorang tidak selalu berbanding dengan kemampuan
orang tersebut mengobrol. Banyak pengusaha-pengusaha yang justru tercekak
ketika ngobrol dengan orang kecil, atau seperti banyak nya pendidik pintar yang
malah tidak sukses menyampaikan materi, sebagian lagi psikolog kaya teori yang
miskin pengalaman ketika bicara soal masalah-masalah kehidupan.
Sering kali kita malah bisa betah berlama-lama bicara dengan
seorang pendaki yang baru di kenal, atau kita bisa berlama-lama mendengarkan
kisah para pelancong ketika beristirahat di warung kopi, atau mungkin gelak
kita tidak habis-habisnya mendengar cerita sopir angkot dan tukang ojek soal
penumpang yang sedang kasmaran.
Bahan
Bukankah seorang tukang masak tak pernah kehabisan akal
ketika akan menyajikan menyajikan makanan, iya bisa memulai dari bahan apa saja, bisa mulai dari bawang dan
cabe yang iya buat nasi goreng, kangkung dan garam yang dibuat tumis kol atau teri
dan pete yang iya sajikan dengan nasi goreng.
Maka sama seperti akan mengobrol kita bisa memulai dari apa
saja, kunci nya adalah seberapa sering kita memasak obrolan kita, seberapa
sering kita melatih untuk mengobrol dengan orang lain, seberapa sering kita
berjalan menimba pergaulan. Bukankah tidak semua obrolan itu harus serius,
tidak semua berupa diskusi untuk kemajuan bangsa, beberapa malah hanya seputar
hal remeh-temah seputar harga bawang yang sedang naik, atau seputar panen cabe
yang sedang diserang hama, mungkin dengan mahasiswa kita bisa mendengar obrolan
tentang dosen killer yang belum move on dengan cara mengajar zaman kolonial, di
pos ronda malah orang bisa ngobrol apa saja, dari Nelson Mandela yang
memperjuangkan Afrika, atau Kepala Desa yang akan segera mempersunting Janda
Muda.
Banyak orang pintar bisa bicara panjang lebar menceramahi
orang, tapi tercekak ketika hanya mengobrol dengan sorang tukang parkir liar,
kehabisan bahan!
Mengobrol, bukan bicara!
Sering kita merasa beda kelas ketika mengobrol dengan
bawahan, merasa malas dan tidak menghasilkan apa-apa kemudian membangun pola pikir
kita bahwa kita tidak akan nyambung mengobrol dengan orang yang tidak selevel,
akhirnya membuat kita malas dan mulai memilih-milih lawan bicara, tentu saja
itu penting, tapi melatih kemampuan kita mengobrol dengan orang yang berbeda
kelas dapat memberi banyak manfaat, memahami kehidupan orang lain diluar kehidupan
kita, membentuk sudut baru dalam melihat masalah, intinya sekali lagi adalah
membangun kemampuan kita mengobrol dengan setiap orang.
Kita tidak bisa terus berdiri diatas podium untuk bicara,
menjadi bintang tamu sebuah diskusi dengan mahasiswa, berorasi di dengar
ratusan orang. Pada lain kesempatan mungkin kita bertemu seorang kuli angkut
pasar atau pekerja serabutan, coba saja mengobrol dengan mereka coba jadi
pendengar dan lihat kemampuan kita menerima pesan, coba mengobrol dengan
teman-teman satu kantor yang mungkin berbeda level dengan kita, petugas
kebersihan atau petugas parkir, jangan terlalu serius, seringkali obrolan harus
ringan-ringan saja, sebab hidup sudah terlalu berat.
Sekali lagi jangan hanya mampu menjadi seorang pembicara
tapi miskin bahan obrolan, mengobrol berarti melatih kita mendengar dan
membangun kepekaan berkehidupan.
Komentar
Posting Komentar