Tersandera Pesta
Tersandera Pesta
3 orang wanita duduk disebuah café dibilangan Thamrin, jam
lima tiga puluh sore sepulang kerja, seperti umumnya kebiasaan pekerja muda
Jakarta, dari pada ikut-ikutan pada keruwetan macet lebih baik santai dulu
sembari menikmati kopi.
Sore itu sedang ada perbincangan hangat diantara mereka dan topik
yang dibahas adalah soal pernikahan mewah.
Wanita pertama membuka obrolan soal banyaknya undangan
pernikahan yang ia terima di bulan ini,
Wanita 1: Kayaknya
lagi musim kawin deh kantor gue
Wanita 2: Lagi banyak Undangan nikahan ya?
Wanita 1: Iya nih banyak banget, masa ya sebulan ini gue dapat lima undangan
Wanita 3: Banyak banget!
Wanita 1: Iya banyak banget, malah tiga undangan lainnya gue jadi bridesmaid lagi, tepos deh!
Wanita 2: Di gedung semua?
Wanita 1: Ho’oh!
Wanita 2: Lagi banyak Undangan nikahan ya?
Wanita 1: Iya nih banyak banget, masa ya sebulan ini gue dapat lima undangan
Wanita 3: Banyak banget!
Wanita 1: Iya banyak banget, malah tiga undangan lainnya gue jadi bridesmaid lagi, tepos deh!
Wanita 2: Di gedung semua?
Wanita 1: Ho’oh!
Begitulah dialog mereka yang berlangsung sore itu.
Siapa yang tak mau bermimpi punya pernikahan idaman di hotel
mewah bertemakan rustic, vintage, elegant atau mungkin pesta kebun, pasti sangat menarik,
jadi perhatian banyak orang, suasana yang meriah, dan semua hal yang bertemakan
kemewahan, kira-kira begitulah yang ada dalam bayangan.
Sekarang wajar saja semua orang ingin Ngartis! (haus
pengakuan) senang menjadi pusat perbincangan
Bicara pernikahan, tentu saja kita bicara sebuah momen yang sakral
yang terjadi sekali seumur hidup (bisanya), jadi wajar-wajar saja jika harapan
seseorang soal pernikahan selalu tinggi. Itulah moment dimana seseorang akan
jadi Ratu dalam sehari, tapi benarkah harus selalu mewah?
Kita tengah menghadapi masa dimana arus perubahan sosial itu
berkuasa pada segala lini kehidupan, dan kita adalah orang yang mendayung
perahu ditengahnya.
Arung Jeram
Seperti mendayung di arum jeram tidak semua orang kuat
fisiknya untuk melintasi 15 kilometer, beberapa hanya 10 bahkan yang lainnya
mungkin cuma 7 kilometer, lalu harus menepi, jika terus mengikuti arus tentu
ada resiko cidera yang harus ditanggung.
Begitupula soal menentukan pernikahan, kita tak perlu ikut-ikutan
arus orang ramai, tidak semua orang punya kemampuan berpesta besar, beberapa
mungkin hanya mampu syukuran, yang lainnya mungkin hanya sanggup ijab kabul,
tapi pada dasarnya kita semua pada status yang sama MENIKAH.
Jangan mau terjebak arus, memaksakan diri ikut-ikutan
berpesta tanpa melihat kemampuan, parahnya sampai meminjam diluar batas
kemampuan hanya demi pesta sehari. Kalau memang sebuah kemewahan itu paling
berkesan coba saja sebutkan diantara banyak pesta pernikahan yang besar yang
pernah kita hadiri, adakah pesta pernikahan orang lain yang selalu kita ingat?
Apakah kita pernah membicarakan sebuah pesta pernikahan
sampai berminggu-minggu? Jika pun ada yang tertarik membicarakannya cuma media.
Kebiasaan orang banyak
Kita tersandera arus kebiasaan yang kita bangun sendiri, takut
membuat pilihan berbeda, memaksakan hal-hal yang tak perlu hanya karena orang
lain, ujung-ujungnya malah menjebak diri sendiri kedalam arus liar.
Orang-orang kantor menjadi takut mendiskusikan pernikahan
sederhana, biaya pra pernikahan pun sekarang tak kalah hebohnya, mulai dari
seragai bridesmaid, foto dan video prawedding, bridal party dan segala macam
lainnya.
Dan begitulah arus liar bekerja sekali seseorang terseret
maka akan sulit menepi.
Buat pilihan
Apa yang sebenarnya kita cari dari sebuah pesta? Benarkah sebuah
moment agar tak terlupa seumur hidup? Atau itu hanya jadi perlindungan sebagai
alibi karena kita tak mampu melawan arus?
Saya percaya kecil atau besar sebuah pernikahan itu akan
selalu menjadi moment special.
Tengok saja cerita pernikahan Bos Facebook Mark Zuckerberg
dan Priscilla Chan, salah satu orang terkaya di dunia ini menggelar pernikahan
sederhana di halaman belakang rumahnya sendiri, dan tamu-tamu yang mereka undang
hanya teman dan sanak saudara, lalu makanannya juga mereka beli dari restoran
Meksiko dan Jepang terdekat.
Lalu baru-baru ini juga salah seorang beauty vlogger kondang
Suhay Salim menikah dengan sangat sederhana, iya mendatangi KUA untuk ijab Kabul,
bahkan berbusana kasual.
Jadi sekali lagi kita perlu memikirkan kembali apa yang
menjadi goal dari pesta pernikahan, jangan sampai kita terjebak pada arus hegemoni
masyarakat luas tanpa berfikir lebih jauh. Sebuah pesta yang mewah tentu
menarik namun sekali lagi kita harus mempertimbangkan kemampuan fisik kita
melalui arus.
Jangan sampai terjebak arus, sekali memaksakan diri maka
cidera resikonya.
Komentar
Posting Komentar